Memburuknya Hubungan China dengan
Turki karena ketegangan di Suku Etnis Uighur
Pada
tanggal 9 Juli 2015, telah terjadi protes besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat
Turki terhadap perlakuan pemerintah China kepada kaum muslim dari suku etnis
Uighur. Selama 10 hari terakhir sentiment anti-China meningkat di Turki.
Demonstran di Turki membakar bendera China, menyerang sejumlah restoran China,
bahkan mereka juga menyerang para turis-turis yang disangka berasal dari China.
Protes tersebut dimulai karena adanya laporan bahwa umat Muslim dari suku Urghi
di China dilarang berpuasa selama bulan Ramadhan serta dilarang melakukan
kewajiban beragama lainnya. Etnis Uighur dari wilayah barat China memang
berasal dari rumpun etnis dan memilki ikatan budaya serta agama yang kuat
dengan Turki. Namun, hal itu dibantah oleh pemerintah China, dimana ia
mengatakan bahwa mereka menghormati kebebasan beragama umat muslim dan tuduhan
bahwa sejumlah aktivitas beragama dilarang sangat bertentangan dengan fakta
yang dibesar-besarkan oleh media Barat. Akan tetapi, pernyataan pemerintah
China tersebut tidak mampu meredam kemarahan warga Turki.
Dalam
hal ini, pemerintah China lalu memberikan himbauan bagi warga negaranya yang
bepergian ke Turki dan memberikan peringatan kepada mereka agar menjauh dari
demonstrasi serta tidak merekam apa yang sedang terjadi. Namun, dari pemerintah
Turki memberikan pernyataan bahwa kemananan semua Turis yang datang ke Turki
merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah tidak akan menoleransi kekerasan
apapun. Namun, segala bentuk demonstrasi besar-besaran yang dilakukan
masyarakat Turki tidak menghalangi para Turis yang pergi kesana. Ia menganggap
bahwa hal itu merupakan protes biasa, dan tidak menghilangkan persepsi meraka
tentang masyarakat Turki ynag ramah.
Menurut
penulis, apa yang telah dilakukan oleh para demonstran di Turki merupakan
bentuk kekecewaan terhadap pemerintah China dan bentuk kepedulian terhadap kaum
muslim suku Uighur. Pernyataan yang dikatakan oleh pemerintah China tentang bahwa
negara menghormati kebebasan beragama, seolah hanyalah bentuk untuk menjaga dan
memperbaiki citra baiknya di mata dunia. China merupakan negara yang sangat
berkembang pesat, negara yang maju, negara yang dianggap mampu menjadi kekuatan
dunia, namun China bukan negara yang memiliki toleransi beragama yang tinggi.
Keotoriteran pemerintah China memberikan ancaman bagi warga negaranya sendiri.
Semua harus diatur oleh pemerintah negara, tidak ada kebebasan yang diterima
oleh sebagian warga negaranya, terutama kaum minoritas yang mendiami China
seperti kaum Muslim di suku Uighur.
Dalam
sebuah wawancara yang dilakukan oleh salah satu berita kepada seorang muslim
yang pernah tinggal di suku Uighur China yang akhirnya pindah ke Turki pada
Desember 2014, ia menceritakan tentang peraturan-peraturan yang ketat yang
diberikan pemerintah China terhadap masyarakat muslim suku Uighur. Beberapa
peraturan tersebut diantaranya melarang perempuan untuk memakai jilbab,
anak-anak dibawah usia 18 tahun dilarang pergi ke masjid, pasangan yang menikah
harus mengajukan permohonan kepada pemerintah dan tidak boleh dinikahkan oleh
imam, serta hanya pria dewasa Uighur yang boleh memelihara jenggot. Bahkan, dia
juga menceritakan bahwa ia pernah diinterogasi oleh apat China tentang segala
hal yang berkaitan dengan Islam. Setelah itu, apparat China menahannya beserta
keluarganya di penjara. Anaknya yang berumur 10 tahun dan keempat temannya pun
juga ikut ditahan oleh arapat China. Begitu bebas, ia kemudian pergi ke Turki
bersama keluarganya melewati Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia.
Dengan
adanya peraturan-peraturan yang diberikan oleh pemerintah China, penulis
berpendapat bahwa itu sangatlah tidak adil bagi kaum Muslim. Dalam konstitusi
China, memang terdapat pasal yang menyebutkan tentang kebebasan warga negara
dalam memiliki keyakinan dan tidak ada yang berhak mengatur keyakinan tersebut.
namun, itu seolah hanya formalitas semata dan tidak menjadi dasar terhadap
perlakuan pemerintah. Apa yang dilakukan oleh pemerintah China tersebut
seolah-olah adalah suatu cara untuk menghilangkan penduduk muslim dari China. Pemerintah China seperti
sangat menentang adanya islam, sangat menolak adanya islam. Memang China
terkenal dengan sebuah negara yang Atheisme, dimana warga negaranya tidak
memilki kepercayaan. Maka dari itu, pemerintah China terus melakukan perlakuan
diskriminatif serta memberi ancaman dan peraturan-peraturan yang ketat terhadap
kaum muslim di Uighur. Hal itu dilakukan agar kaum muslim Uighur merasa
ketakutan, sehingga mereka harus dihadapkan kepada pilihan, mau mematuhi
peraturan pemerintah China atau pergi dari negara China.
Akan
tetapi, pemerintah China tidak akan dengan mudah membiarkan masyarakatnya
pergi. Itu karena di wilayah Xinjiang, tempat dimana mayoritas kaum muslim suku
Uighur tinggal, terdapat banyak sumber daya alam melimpah yang menjadi salah
satu kekuatan negara China. Sumber daya alam tersebut diantaranya ada batu
bara, minyak, dan gas alam dimana sumber daya alam tersebut banyak diolah oleh
masyarakat suku Uighur. Sumber daya alam tersebut yang mejadi salah satu bahan
ekspor ke negara lain, serta menjadi sumber penghidupan masyarakat negara
China. Apabila pemerintah China membiarkan penduduk suku Uighur meninggalkan
China, maka tidak ada lagi yang mengolah sumber daya alam tersebut, sehingga
hal itu menjadi ancaman bagi pemasukan ekonomi negara.
Menurut
penulis, apa yang dilakukan pemerintah China mungkin juga merupakan cara untuk
menyatukan perbedaan-perbedaan warga negaranya. Namun, apabila harus memberikan
ancaman kepada salah satu kelompok masyarakat, hal itu merupakan cara yang
salah. Dengan cara itu, bisa menyebabkan pergolakan dari kelompok yang mengami
perlakuan disriminatif tersebut. Bahkan, hal itu bisa menjadi ancaman
pemerintah China apabila terjadi pemberontakan besar-besaran dan didukung oleh
negara lain, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Turki untuk membantu kaum
Muslim suku Uighur. Selain itu, China juga bisa dipandang negatif oleh negara
lain, khususnya negara mayoritas muslim apabila terus memberikan ancaman
terhadap kaum muslim di negaranya. Hal ini bisa mengancam hubungan kerjasama
diplomatik China dengan negara lain yang memiliki masyarakat mayoritas muslim,
apabila perlakuan diskriminatifnya terhadap suku Uighur tidak dihentikan. Karena
sesungguhnya, setiap pemerintah negara harus berlaku adil terhadap warga
negaranya, tidak peduli perbedaan yang ada, dan disitulah akan terbentuk
kesatuan yang tersususun dari beragam perbedaan sehingga dapat menjadi kekuatan
negara tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar